Never Give Up

Sabtu, 06 Februari 2016

Etika Berinteraksi Dengan Lawan Jenis Perspektif Islam

Manusia adalah makhluk individu sekaligus mahluk sosial. Sudah menjadi hakikatnya bahwa manusia tercipta dengan karakter unik, masing-masing memiliki keistimewaan yang berbeda antara seseorang dengan orang lainnya. Sebagai mahkluk sosial, manusia selalu membutuhkan interaksi dengan manusia lainnya. Allah SWT pun menciptakan laki-laki dan perempuan di dunia ini dan masing-masing memiliki pasangannya masing-masing.

Dalam al-Qur’an Al Maidah ayat 2 :
وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَىٰ ۖ وَلَا تَعَاوَنُوا عَلَى الْإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ ۚ وَاتَّقُوا اللَّهَ ۖ إِنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ

Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya

Ayat tersebut menjelaskan bahwa kita sebagai mahkluk social harus saling membantu sama lain dan saling melengkapi satu sama lain. Dalam pasangan suami istri sangat wajar dan memang sudah seharusnya jika mereka saling berinteraksi secara lebih. Tetapi bagaimanakah jika yang terjadi budaya berinteraksi dengan lawan jenis yang non-mahram dan tidak ada hubungan suami-istri di masyarakat menjadi suatu hal yang lumrah. Terutama, pada saat ini, masyarakat Islam tentunya kurang berhati atau terlalu dekat ketika berinteraksi dengan lawan jenis sehingga memunculkan suatu hal yang tidak diinginkan, atau madharat dan suatu hal yang dipandang fitnah.

      Pergaulan yang baik

Pergaulan yang baik ialah melaksanakan pergaulan menurut norma-norma kemasyarakatan yang tidak bertentangan dengan hukum syara’, serta memenuhi segala hal yang berhak mendapatkannya masing-masing menurut kadarnya.

Agama islam menyeru dan mengajak kaum muslimin melakukan pergaulan di antara kaum muslimin baik yang bersifat pribadi orang seorang, maupun dalam bentuk kesatuan. Karena dengan pergaulan kita dapat saling berhubungan mengadakan pendekatan satu sama lain, bisa saling menunjang dan mengisi antara satu dengan lainnya.[1]

Namun, kasus wajar yang terjadi pada kehidupan remaja adalah “rasa ketertarikan terhadap lawan jenis”. Ciri-ciri keremajaan itu menjadi godaan yang besar bagi remaja muslim. Memang, rasa tertarik terhadap lawan jenis adalah fitrah manusia, baik wanita atau lelaki. Namun kalau kita tidak bisa memenej perasaan tersebut, maka akan menjadi mala petaka yang amat besar,baik untuk diri sendiri ataupun untuk orang yang kita sukai. Sudah Allah tunjukkan dalam sebuah hadist Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,

فَالْعَيْنَانِ زِنَاهُمَا النَّظَرُ وَالأُذُنَانِ زِنَاهُمَا الاِسْتِمَاعُ وَاللِّسَانُ زِنَاهُ الْكَلاَمُ وَالْيَدُ زِنَاهَا الْبَطْشُ وَالرِّجْلُ زِنَاهَا الْخُطَا وَالْقَلْبُ يَهْوَى وَيَتَمَنَّى وَيُصَدِّقُ ذَلِكَ الْفَرْجُ وَيُكَذِّبُهُ

Zina kedua mata adalah dengan melihat. Zina kedua telinga dengan mendengar. Zina lisan adalah dengan berbicara. Zina tangan adalah dengan meraba (menyentuh). Zina kaki adalah dengan melangkah. Zina hati adalah dengan menginginkan dan berangan-angan. Lalu kemaluanlah yang nanti akan membenarkan atau mengingkari yang demikian.” (HR. Muslim) [2]

Duduk Berdua (Berkhalwat) dengan Lawan Jenis bukan muhram.

Uqbah ibn Amir ra. Menerangkan :

أَنَّ رَسُولُ اللهِ عليه وسلّم قَالَ: إِيَّاكُمْ وَالدُّخوْلَ عَلىَ النِّسَاءِ. فَقَالَ رَجُلٌ مِنَ الْأَنْصَارِ: يارسُولَ اللهِ ! أَفَرَأَيْتَ الْحَمْوَ؟  قال: الْحَمْوُالْمَوْتُ.

“Bahwsannya Rasulullah SAW bersabda: janganlah kamu masuk ke kamar-kamar perempuan. Seorang laki-laki Anshar berkata: ya Rasulullah terangkan padaku bagaimana hukum masuk ke dalam kamar ipar perempuan. Nabi SAW menjawab; ipar itu adalah kematian (kebinasaan).”(al bukhari 67:111: muslim 39:8: Al lu’lu-u wal marjan 3;69-70)

Nabi tidak membenarkan seorang muslim masuk ke kamar-kamar perempuan, maka hal ini memberi pengertian, bahwa kita dilarang duduk-duduk berdua-duaan saja dalam sebuah bilik dengan seorang perempuan tanpa mahramnya.

Nabi menerangkan bahwa kerabat-kerabat si suami menjumpai si istri itu sama dengan menjumpai kematian, karena menyendiri dalam kamar memudahkan timbul nafsu jahat yang membawa pada kemurkaan Allah dan membawa kepada kebinasaan, atau menyebabkan si suami menceraikan istrinya jika sang suami pencemburu. Jelasnya, takut kepada mudah timbul kejahatan dari kerabat-kerabat itu adalah lebih mudah daripada yang dilakukan oleh yang bukan kerabat. Karena kerabat itu lebih leluasa masuk kedalam ruangan si perempuan dengan tidak menimbulkan prasangka buruk.[3]

Haram melihat Lawan Jenis yang Bukan Mahram

Merujuk pada hadis Rasul riwayat Imam Bukhari tentang zina mata di atas, pandangan mata karena awal mula timbulnya hasrat dari pandangan mata yang tidak terkontrol atau tidak dijaga terhadap hal-hal yang memancing nafsu birahi , kemudian lisannya bicara yang tidak baik misalnya menggunjing orang lain, berdusta dan berbicara yang tidak menjurus perbuatan yang menimbulkan hasrat dengan lawan jenis.

مَامِنْ مُسْلِمٍ يَنْظُرُإِلَى إمْرَأةٍ أَوَّلَ نَظْرَةٍ ثُمَّ يَغُضُّ بَصَرَهُ إلاَّ أحْدَثَ الله لَهَ عِبَادَةً يَجِدُ حَلاَوَتَهَا

“tidaklah seorang muslim yang memandang seorang wanita dalam pandangan pertamanya. Kemudian ia palingkan pandangannya kecuali Allah menjadikannya nilai ibadah yang akan dirasakan kemanisannya.”

Islam mengajarkan kita agar selalu menjaga mata kita agar tidak melakukan zina mata. Jikalau ada satu kenikmatan, maka yang pertama itu ibadah dan selanjutnya itu perangkap syaithan. [4]

Berboncengan dengan lawan jenis[5]

لَا يَخْلُوَنَّ رَجُلٌ بِامْرَأَةٍ إِلَّا وَمَعَهَا ذُو مَحْرَمٍ وَلَا تُسَافِرْ الْمَرْأَةُ إِلَّا مَعَ ذِي مَحْرَمٍ فَقَامَ رَجُلٌ فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّ امْرَأَتِي خَرَجَتْ حَاجَّةً وَإِنِّي اكْتُتِبْتُ فِي غَزْوَةِ كَذَا وَكَذَا قَالَ انْطَلِقْ فَحُجَّ مَعَ امْرَأَتِكَ

و حَدَّثَنَاه أَبُو الرَّبِيعِ الزَّهْرَانِيُّ حَدَّثَنَا حَمَّادٌ عَنْ عَمْرٍو بِهَذَا الْإِسْنَادِ نَحْوَهُ و حَدَّثَنَا ابْنُ أَبِي عُمَرَ حَدَّثَنَا هِشَامٌ يَعْنِي ابْنَ سُلَيْمَانَ الْمَخْزُومِيُّ عَنْ ابْنِ جُرَيْجٍ بِهَذَا الْإِسْنَادِ نَحْوَهُ وَلَمْ يَذْكُرْ لَا يَخْلُوَنَّ رَجُلٌ بِامْرَأَةٍ إِلَّا وَمَعَهَا ذُو مَحْرَمٍ

Janganlah sekali-kali seorang laki-laki berduaan dengan seorang wanita kecuali wanita itu disertai muhrimnya. Dan seorang wanita juga tidak boleh bepergian sendirian, kecuali ditemani oleh mahramnya.” Tiba-tiba berdirilah seorang laki-laki dan bertanya, “Ya, Rasulullah, sesungguhnya isteriku hendak menunaikan ibadah haji, sedangkan aku ditugaskan pergi berperang ke sana dan ke situ; bagaimana itu?” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pun menjawab: “Pergilah kamu haji bersama isterimu.” Dan Telah menceritakannya kepada kami Abu Rabi’ Az Zahrani Telah menceritakan kepada kami Hammad dari Amru dengan isnad ini, semisalnya. Dan Telah menceritakan kepada kami Ibnu Abu Umar Telah menceritakan kepada kami Hisyam bin Sulaiman Al Makhzumi dari Ibnu Juraij dengan isnad ini, semisalnya. Dan ia tidak menyebutkan; “Janganlah sekali-kali seorang laki-laki berduaan dengan seorang wanita kecuali wanita itu disertai mahramnya..[6]

Definisi irdaaf (boncengan) bermakna menaikkan/membonceng seseorang di belakangnya dan istilah ini tidak digunakan di kalangan Ulama Ahli Fiqh. Memboncengkan pada zaman Rasulullah menggunangkan hewan unta, sedangkan pada zaman sekarang memboncengkan lebih kepada sepeda motor atau mungkin alat transportasi lainnya seperti mobil dan lain-lain.

Sepeda motor untuk daerah tertentu memang menjadi alat transportasi yang amat vital. Seringkali di suatu desa seseorang yang punya sepeda motor menawarkan bantuan untuk memboncengkan teman atau tetangganya. Atau memboncengkan teman perempuan, karena barangkali kasihan kalau harus jalan kaki. Pada dasarnya niat menolong ini sangat baik karena daripada harus jalan kaki yang jaraknya lumayan jauh, atau berjejelan di bus, maka membonceng teman atau tetangga memang sebuah solusi kepekaan sosial yang baik.

Atau pada sebuah pergaulan remaja pada saat ini. Misalnya, dikampus terdapata cara dan itu diselenggarakan oleh mahasiswa dan mahasiswi secara bersamaan dan memungkinkan terjadi boncengan antara satusama lain..

Lalu, apakah berboncengan dengan selain muhrim itu di perbolehkan atau tidak? Ini menjadi pertanyaan dasar kita yang mungkin harus kita jabarkan bersama-sama. Dalam berboncengan dengan sepeda motor, kita pasti akan terlihat oleh orang lain dan banyak orang yang melihat kita. Sehingga, ketika kita akan melakukan sesuatu yang tidak sesuai pasti akan berfikir dua kali. Dan seperti penjelasan hadis di atas.Ketika seseorang berduaan dengan bukan muhrimnya tetapi terdapat orang yang mengawasi dan ada yang melihat maka perbuatan yang tidak diinginkan akan kurang tepat dilakukan.

Analisa

Duduk berduaan dengan lawan jenis, saling berpandangan, dan berboncengan, sampai saat ini dalam Islam masih menjadi hal yang dapat mendekatkan diri kita kepada fitnah. Dalam konteks yang berlainan, seperti seorang dokter perempuan dengan pasiennya laki-laki yang berduaan di dalam ruangan periksa. Apabila kembali pada hukum asal tentang interaksi dengan lawan jenis pada kasus berdua-duaan, maka tindakan ini merupakan hal yang harus dihindari.  Namun, pada kaidah lainnya menerangkan bahwa diperbolehkan suatu hal yang dilarang karena terdapat hajat yang tidak dapat ditinggalkan.  Karena, apabila pasien tidak segera diperiksa atau apabila harus memilih-milih dokter, ia akan tambah parah dan tiak segera ditangani. Keadaan yang seperti ini tidak relevan apabila harus seperti tekstual dalil. Kecuali apabila negara telah menyiapkan fasilitas yang membedakan gender, hal ini dapat diterapkan. Sedangkan negara Indonesia memiliki multikultural penduduk dengan berbagai agama dan budaya, sehingga menjadi maklum apabila keadaan tidak sesuai teks Al Qur’an atau hadis. Asal hukum tidak diperbolehkan interaksi yang berdekatan antar lawan jenis adalah untuk menghindari fitnah, dan keadaan yang tidak diinginkan. Jadi dapat dianalisis bahwa interaksi lawan jenis antara dokter dengan pasien, murid dengan guru, selama tidak ada syahwat yang dalam hubungan sesama tersebut, maka hal ini dapat diperbolehkan. Tentunya, pihak-pihak tersebut harus menghindari tingkah laku yang memancing timbulnya syahwat. Seperti, tidak memandang lawan jenis dengan tatapan yang menggoda, atau memberikan respon yang dapat mengundang perhatian, sehingga interaksi lebih dari yang selayaknya.

Pada kasus tukang ojek wanita di daerah Surabaya dan sekitarnya, fatwa yang dikeluarkan oleh suatu pihak tentang larangan profesi ini justru menimbulkan masalah.Larangan yang tidak disertai dengan solusi akan menjadi fatwa yang hanya bernilai nihil. karena ketika diselidiki, tukang ojek wanita itu merupakan korban lumpur Lapindo yang belum mendapat ganti rugi. Tentunya, adanya larangan tersebut akan berpengaruh terhadap segi ekonomi masyarakat.

Islam sebagai agama yang diturunkan untuk menyempurnakan akhlaq manusia, membawa salah satu misinya yaitu saling menjaga satu sama lain. Keamanan dan saling tolong menolong memang diutamakan dalam Islam. Interaksi dengan lawan jenis yang bukan mahram telah menjadi hal biasa di Indonesia sehingga perlu adanya pengertian agama yang lebih agar masyarakat mngetahui mana interksi yang sehat dan yang tidaksehat.

Interaksi lawan jenis diperbolehkan ketika ada maksud muia untuk menolong dan memberikan keaamanan keda lawan jenis. Tetapi interaksi lawan jenis juga akan menjadi keadaan yang dilarang apabila melakukan hal-hal yang tidak wajar sesuai perspektif Islam, dan menimbulkan syahwat.

Namun, apabila terdapat pilihan antara dua hal, yaitu manfaat dan madharat. Maka, makhluk yang diberi kelebihan berpikir, sebagai muslim dituntut untuk dapat mengambil sikap yang bijak dan berhati-hati agar tetap sesuai syari’ah Islam dan terhindar dari hal-hal yang diperkenankan oleh Alah swt. Wallahu a’lam bisshawwab.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar